Memaknai Keberagaman dari Singaraja

February 27, 2015 § 5 Comments

Membicarakan pluralitas, saya tiba-tiba teringat kejadian sekian tahun yang lalu tepatnya oktober 2012. Bem Universitas Udayana mengadakan acara puncak Dies Natalis ke-50 di Art Center, Denpasar. Ketika itu kami mengundang band kenamaan Bandung, Rocket Rockers sebagai bintang tamu utama acara tersebut. Beberapa hari sebelum acara beberapa kawan aktivitis memprotes keputusan kami untuk mengundang mereka. Isu yang menjadi sentral ketika itu adalah mengenai keterlibatan sang vokalis dalam gerakan anti pluralitas, anti jaringan islam liberal (JIL), dan menunjukan simbol-simbol anti keberagaman.

Walaupun ketika itu tidak menimbulkan sesuatu yang berarti, misalnya penolakan massa. Namun beragam kritik dan saran dari kawan aktivis, seperti bli Gendo, Rudolf Dethu, dan kawan-kawan mahasiswa lain cukup membuat kami khawatir. Mengingat beberapa perdebatan terjadi secara terbuka di media sosial dan beberapa blog. Kami selaku penyelenggara mewanti-wanti agar tidak terjadi provokasi yang dilakukan oleh penggemar ataupun band tersebut diatas panggung.

Saya begitu mengingat ketika itu seorang kawan saya, Rubik. Ia mengontak saya dan memberitahukan pada bahwa ia akan berunjuk rasa ketika acara berlangsung. Ditemani kawan saya Giri, ia membentangkan spanduk sebagai upaya protes juga sekaligus menunjukkan betapa bali sangat menghargai keberagaman atau istilahnya pluralitas.  Tulisannya kalau tidak salah Bali Cinta Pluralitas” kalau tidak salah.

Apakah sebegitu hebatnya pertentangan umat beragama di Indonesia. Begitu dominannya pemikiran agama saya adalah paling benar. Atau belakangan begitu trend adalah agama menentukan kiblatnya ke negara asalnya, apakah islam berkiblat pandangan Islam seperti di Arab, atau Hindu yang mulai kental  dengan tradisi India. Apakah penyerangan dan pelarangan ibadah bagi minoritas atau berbeda aliran. Saya rasa itu penyakit kita, bukan wahyu yang diturunkan tuhan dari kitab-kitab suci agama bahkan dari petuah-petuah bijaksana pemimpin agama kita (tentu saja yang memprovokasi hal-hal diatas bukan pemimpin agama).

Menyoal pluralitas,mungkin bagi saya yang hidup di tengah-tengah komunitas yang homogen (misalnya masyarakat tempat saya tinggal adalah komunitas Hindu) sangat sulit. Terlebih terkadang dalam komunitas saya, masih ada pandangan lain mengenai umat beragama lain. Tidak negatif namun mereka memberikan kesan yang soleh (aneh dan berbeda dengan mereka). Tapi saya berusaha untuk belajar dan mengerti tentang perbedaan diantara kita semua.

Belajar toleransi beragama di Singaraja

Saya sangat jarang menemukan suara genta serta mantra berpadu dengan adzan dari Mesjid berpadu ditengah persembahyangan khusuk. Kemarin, saya mendengarnya ketika bersembahyang di pura jagatnatha, singaraja. Kebetulan sekali saya sedang bekerja di Buleleng, dan mengajak kedua teman saya, haps dan fida yang juga kebetulan untuk mengenal pura dan memperkenalkan mereka tentang Hindu Bali. Sebuah kebetulan juga, kedua teman saya beragama Islam dan mengenakan jilbab. Jadi ini semacam perpaduan unsur yang begitu berbeda, dalam satu kesempatan, klop sekali.

Saya terkadang gemar menjelaskan kepada mereka tentang Hindu, dan berbagai kebiasaan yang dapat mereka lihat selama di Bali. Berhubung program di rumah intaran selama hampir 10 bulan. Jadi kalau mereka tengah melihat sesuatu yang berhubungan dengan agama dan Bali, segera saya memberikan penjelasan tentang apa yang mereka lihat, berusaha menjelaskan maknanya, dan apa yang menjadi bahannya, atau perubahan kebiasaan tersebut hari ini.

Kembali lagi, pada usaha saya mengajak keduanya ke pura, namun upaya itu harus berhenti karena salah satunya sedang berhalangan. Jadi saya tidak izinkan untuk ikut walaupun hanya sampai di jaba tengah. Yah, jadi mereka memilih untuk berjalan-jalan di sekitar pura Jagatnatha.  Dalam benak saya, apakah mungkin masyarakat yang sedang sembahyang risih saat Haps dan Fida berseliweran di dekat mereka. Karena sebetulnya saya sangat risih jika berada dalam keadaan yang demikian. Hal itu mungkin belum tentu dapat saya tanyakan pada masyarakat yang sedang bersembahyang dan tentunya kepada kedua teman saya. Tentunya hal tersebut dapat memperkuat tesis yang tengah saya ajukan dalam tulisan ini.

Suasana Jeroan Pura Jagatnatha, Singaraja (sumber)

Suasana Jeroan Pura Jagatnatha, Singaraja (sumber)

Singkat cerita saya bersembahyang di Jeroan Pura tersebut. Suasananya khusuk walaupun tidak terlalu ramai. Kebanyakan adalah pelajar sma dan mahasiswa sambil membawa pasangan ataupun sahabatnya untuk bersembahyang bersama. Setelah selesai, saya bertemu mereka di dekat pura. Namun, kami tidak segera pulang. Mereka ingin saya ikut  menemani mereka mampir ke sebuah masjid, yang tentunya tadi adzannya saya dengar ketika tengah khusuk berdoa. Saya menyanggupinya, dan malah risih. Keadaannya sekarang berbalik 180 derajat. Saya yang harus mengantar mereka ke Mesjid. Saya memilih duduk agak jauh dari Mesjid, tidak enak dengan pakaian lengkap sembahyang bersliweran di depannya.

Kira-kira, 10 menit kemudian para jamaah mesjid tersebut mulai keluar dari Mesjid. Satu orang nampak keluar dari pintu bertuliskan wudhu khusus laki-laki. Ia mengambil alas kakinya. Kemudian berjalan menuju arah saya, raut wajahnya terihat kaget. ” Permisi mas, ” demikian ujarnya kepada saya yang tengah sibuk memainkan telepon gengggam saya. Saya hanya mengangguk. Pada fase tersebut saya dipaksa untuk menjadi berbeda, dan merasa menjadi minoritas. Ketika mesti berpikir ulang bahwa kita selalu bisa berada dalam posisi tersebut. Moral yang baik lebih penting ketimbang menjadi penganut agama yang taat namun merasa paling benar dihadapan yang lain.

Setelah dari masjid, kami sepakat untuk ke pasar membeli beberapa kebutuhan. Bergegas menuju Pasar Banyuasri, agak pinggir dari kota Singaraja. Pasar ini buka pada malam hari. Makin malam tentu saja pasar akan semakin ramai. Masyarakat dari berbagai golongan tumpah-ruah ke pasar tersebut. Mulai dari Bali, Jawa, warga keturunan Arab, Hindu, Islam, Kristen, Budha, Konghucu. Termasuk dengan pedagangnya, mereka seakan tidak peduli apakah mereka berbeda identitas kulturnya transaksi tetap berjalan. Walaupun tetap yang utama untuk mencari penghidupan. Berputar-putar di los-los pasar, seorang bapak menyapa kami. Ia nampak membawa beberapa dus telur, dan dari penampilannya mungkin pedagang di pasar tersebut.

Ia mengatakan begitu gembira, melihat kami (Haps dan Fida yang berjilbab dengan saya yang memakai pakaian lengkap sembahyang) berjalan bersama. “Alhamdulillah!” serunya. Dalam penangkapan saya, ungkapan tersebut bermakna dua hal. Pertama, hal tersebut tidak umum terjadi disini. Kedua, ia merasa sangat senang melihat begitu kami, sebagai cerminan apa yang terjadi dalam keseharian mereka. Saya sangat jarang mendengar terjadinya konflik berlandaskan agama di Bali, paling banyak yang terjadi adalah konflik melibatkan sesama orang bali. Bahkan diantaranya bertengkar dengan saudara, teman, dan juga orang tua sendiri. Ironis.

Saat menulis cerita ini, saya teringat Mbah Ti dan Pak Ketut Mangku mereka tinggal di Mess pensiunan tentara di Singaraja. Beberapa minggu lalu kami mengunjungi mereka untuk bertanya seputar sejarah tempat tinggal mereka. Bangunan yang mereka tempati diperkirakan merupakan gedung bersejarah, Kamar Bola sebutannya. Kamar bola kalau di inggriskan menjadi ballroom, gedung tersebut diperkirakan merupakan entertaiment/lifestyle center atau lebih dikenal sebagai gedung societit/gedung tonil.

Kamar Bola, (depan) Pak Mangku, (kanan) Haps.

Kamar Bola, (depan) Pak Mangku, (kanan) Haps.

Foto Soekarno, dan beberapa foto Kenangan Pak Mangku dan Mbah Ti

Foto Soekarno, dan beberapa foto Kenangan Pak Mangku dan Mbah Ti

Bukan hal tersebut yang saya bahas, namun saya temukan adalah pasangan kakek dan nenek tersebut, memilih untuk berbeda agama. Mbah Ti berasal dari Jawa Timur tentu saja beragama Islam (saat berfoto dengan kami mengenakan jilbab), dan Pak Mangku berasal dari Seririt, Singaraja (saya kemudian menyimpulkan bahwa ia beragama hindu, karena di tengah kamarnya saya mendapati adanya pelangkiran/tempat sesajen di dalam kamarnya). Mereka telah menikah sejak 1960-an dan mereka tetap langgeng serta bahagia.

Mbah Ti dan Pak Mangku (Fida)

Mbah Ti dan Pak Mangku (Fida)

Pada akhirnya, saya tidak ingin menyimpulkannya, tapi setidaknya saya menemukan untuk diri saya sendiri.

Bengkala, 18 Februari 2015

§ 5 Responses to Memaknai Keberagaman dari Singaraja

  • kadekdoi says:

    Tulisan yang bagus Ekamul, aku merasakan bagaimana perasaan ‘insecure’ kalian ketika satu sama lain menjadi minoritas. Ah aku jadi ingat dulu, sewaktu tinggal di Seririt tempat mainku adalah kampung Madura. Walaupun tidak semuanya berasal dari Madura tapi karena mayoritas penduduk di sana adalah muslim, warga menyebut daerah tsb demikian.
    Hal yang paling aku ingat, ketika mengantarkan temanku untuk ikut kelas agama di masjid dekat jembatan tukad saba.
    Aku suka nguping apa yang mereka diskusikan. Laki-laki tua berpakaian putih selalu menekankan bahwa dengan siapapun bergaul jangan pernah membatasi diri dengan perbedaan agama. Karena agama itu yang membuat orang menjadi baik. Hormatilah orang-orang yang ingin menjadi baik. Untungnya aku mengingat terus hal itu, setidaknya ketika aku pindah ke ibu kota aku menjadi resisten dengan ceramah-ceramah pemecah belah. Kini di Amerika aku dihadapkan pada kenyataan bahwa ada aku dipertemukan dengan banyak orang baik yang tidak memeluk agama. Ya, menurutku agama adalah warisan dan pilihan.

    Like

  • Krisna Mahay says:

    Tulisan yang keren kak eka, membiarkan pembacanya untuk mencari makna dan kesimpulannya sendiri, tidak ada keberpihakan dari penulis itu sendiri.
    Saya sangat setuju deengan kalimat pada tulisan ini “Moral yang baik lebih penting ketimbang menjadi penganut agama yang taat namun merasa paling benar dihadapan yang lain”

    Like

  • Risky says:

    Pak ketut mangku sudah gak ada😭😭😭

    Like

  • Anggi says:

    Saya beserta keluarga mengucapkan Terima kasih bli putu eka untuk .tulisannya dan kenangan yang diberikan..sy cucu dari pasangan pak ketut mangku dan ibu sri tanggal 28 januari pk 02.00 wita dini hari bapak ketut mangku telah berpulang..mohon doa untuk almarhum dari bli putu dan teman2 yang membaca tulisan ini..terima kasih sekali lagi bli putu

    Like

Leave a comment

What’s this?

You are currently reading Memaknai Keberagaman dari Singaraja at Sudut jalan.

meta