Imlek dan Hujan yang Terlambat Turun

March 12, 2015 § 1 Comment

Imlek selalu identik dengan hujan, imlek tanpa hujan mungkin sebuah pertanda bahwa rejeki tidak agar mengalir tahun ini, bahkan merupakan tanda-tanda yang buruk di tahun baru.

F-IMLEK2

Foto Imlek di Sekitaran Bekasi (Sumber)

Hari raya ini diperingati sebagai awal dari musim tanam di China. Masyarakat menentukan tahun baru berdasarkan pada hari pertama di musim semi. Kalaupun dirunut-runut imlek jatuh setelah bulan mati atau tilem. Jadi semacam awal baru, mirip dengan perayaan hari raya Nyepi (tahun baru bagi masyarakat Bali), dan juga seperti penanggalan Idul Fitri, yang ditentukan setelah bulan mati. Penentuan dari hari raya berkaitan dengan tanda-tanda alam serta juga musim, karena tahun baru menurut saya adalah lambang sebuah awal, bagi masyarakat agraris di China berhubungan erat dengan musim bercocok tanam, setelah hampir tiga bulan wilayahnya begitu  dingin dan ditutupi es.

Jika dibandingan dengan Indonesia yang hanya memiliki dua musim, kemarau dan penghujan. Imlek jatuh pada musim penghujan, antara bulan Januari hingga Februari. Pada dua bulan tersebut merupakan puncak musim hujan, dengan intensitas hujan yang tinggi. Beberapa minggu sebelum imlek, frekuensi hujan meningkat dan puncaknya ketika imlek. Hal tersebut didasarkan pada pengamatan saya setidaknya empat tahun berturut-turut. Imlek jatuh pada puncak musim hujan dan  hari setelah imlek intensitas hujan mengalami penurunan.

Banjir di Denpasar setelah Imlek, 20 Februari 2015 (Sumber)

Banjir di Denpasar setelah Imlek, 20 Februari 2015 (Sumber)

Saya punya pengalaman, dengan hujan menjelang imlek. Ketika awal tahun 2012, saya tengah sibuk menentukan pengurus untuk organisasi. Saya dan beberapa teman tengah berkumpul di Rumah Jabatan Rektor Unud. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan dan juga kami sepakat untuk foto kepengurusan yang nantinya bekerja sama selama setahun. Sore hari, malahan cuaca cerah, kami menyempatkan untuk berkumpul di halamannya mengobrol, dan berbincang. Menjelang malam, hujan mulai turun, menjelang pukul 10 malam hujan makin deras, ditambah dengan mati lampu. Beberapa orang yang belum pulang terjebak di rumah jabatan, dari jendelanya saya melihat pohon-pohon palem bengkok terkena angin. Petir menyambar diiringi suara ledakan menggelegar. Pengalaman yang tentunya sulit untuk dilupakan. Atau mungkin juga semacam pertanda berkah bagi kepengurusan organisasi yang saya jalani selama satu tahun.

Menyangka Tentatif

Pagi hari di rumah intaran, seperti biasa saya musti dibangunkan oleh suara kicau burung dipadu dengan deru mesin pemotong kayu. Bangun dan beranjak ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sepeti biasa pisang kukus dan sehelai daun intaran serta tak lupa seteko teh untuk semua. Bertepatan dengan imlek, kami bingung apakah akan bekerja seperti biasa. Terlebih (ketika itu) kami baru 20 hari bekerja. Tanpa bertanya, (karena tidak tahu dan bertanya) kami berpikir hari tersebut kami perlu meliburkan diri seperti kantor umumnya. Jam telah memasuki pukul 10.00, saya sendiri masih enggan bergerak menuju kantor. Kamar masih dalam keadaan berantakan dengan berbagai dokumen dan keperluan saya ditengah kamar yang saya tempati. Segera setelah melihat bapak Gede kresna dan Ibu bergerak ke kantor saya memutuskan untuk bekerja juga.

Mungkin hal itu yang menjadi kendala ketika kita bekerja dengan orang lain. Terlebih tempat tinggal digunakan sebagai kantor, dimana waktu kerja kita fleksibel. Kita sendiri yang menentukan kapan waktu untuk bekerja, ataupun istirahat. Kekurangan yang begitu nyata adalah saat kita benar-benar tidak dapat bekerja, ataupun dalam dilema tersebut (konsukuensi bekerja pada orang lain) hari kerja kita tidak dihitung, jika bekerja sendiri (freelance) tidak ada pemasukan yang kita terima. Ini sebuah konsekuensi yang ditanggung akan kemudahan serta kelebihan bekerja di rumah.

Haps dan fida akhirnya memilih untuk bekerja di serambi belakang, di depan kamar tidur yang mereka tempati. Saya lebih memilih di kantor, karena sebenarnya tidak ada aliran listrik yang dapat saya gunakan di kamar saya. Sumber listrik kamar saya berasal dari saklar dari lampu taman. Tentunya akan hidup pada malam hari saja. Kantor hari itu nampak sibuk, semua begitu serius mengejar beberapa target prestisius juga tengah berpikir mempersiapkan ulang tahun Rumah Intaran yang ketiga pada akhir bulan februari tersebut. Setelah makan siang, saya akhirnya memilih  pindah ke dapur. Harapannya pikiran jadi ringan serta udara segar mengalirkan banyak kesempatan untuk menyelesaikan beberapa kewajiban ketika itu.

Hujan yang Terlambat Datang

Sebenarnya setelah makan siang, Fida mengolok-olok saya. Ia menyatakan tidak hujan hari ini. Tapi tentunya saya tetap kekeuh akan prediksi yang saya ajukan beberapa hari menjelang Imlek. Udara panas masih berembus di Rumah Intaran, sesekali membuat saya khawatir apakah nantinya turun hujan, ketakutan yang utama adalah gengsi dipertaruhkan disana. Coba bayangkan prediksi dan preseden yang telah terjadi paling tidak 3 tahun tersebut harus dimentahkan oleh tiadanya hujan sehari (mirip seperti peribahasa karena nila setitik rusak susu sebelanga).

Peribahasa tersebut juga mempunyai wajah dan arti yang cocok untuk gejala yang saya tengah khawatirkan tersebut. Malam berganti, personil Rumah Intaran segera menghambur di meja makan. Tentunya Fida masih dalam koor yang sama sejak tadi siang. Tentunya hal  tersebut cukup mengganggu, walaupun saya masih begitu berharap pada hujan. Setelah makan malam, berbincang sejenak dengan semua personil. Topik pembicaraanya tidak lepas dari dokumen-dokumen kantor, soal kemarinnya melewatkan pertunjukan barongsai di Klenteng Ling Gwan Kiong Singaraja, dekat dengan ex. Pelabuhan Buleleng. Mengantuk melanda, beranjak dari dapur menuju peraduannya masing-masing.

Klenteng Lin Gwan Kiong, Singaraja (Sumber)

Klenteng Lin Gwan Kiong, Singaraja (Sumber)

Dengan kepala tertunduk saya harus mengakui hujan enggan sekali untuk turun, setelah mematikan lampu kamar dan air-air terdengar jatuh menimpa atap kamar. Suaranya makin lama begitu keras. Akhirnya hujan turun dengan lebatnya, disertai iringan petir. Saya kira hal itu pertanda, namun apakah tahun ini akan terlambat juga rejekinya, atau kelimpahan akan selalu ada melalui harapan-harapan seperti saat menunggu hujan. Walaupun telah lewat, selamat Imlek saudara-saudara se-Tanah Air (karena begitu percaya setiap orang akan bergembira menyambutnya).

Tagged: , ,

§ One Response to Imlek dan Hujan yang Terlambat Turun

Leave a comment

What’s this?

You are currently reading Imlek dan Hujan yang Terlambat Turun at Sudut jalan.

meta