Dosa-Dosa Buang Energi Fosil dan Cara Menebusnya

January 13, 2020 § Leave a comment

Belakangan saya merasa bersalah, banyak menggunakan kendaraan bermotor, banyak mengidupkan lampu padahal cukup dengan menghidupkan satu lampu, dan juga banyak buang-buang energi untk hal-hal yang sebenarnya dapat dihemat.

Jika kemudian energi bisa dikonversi secara perlahan menuju energi terbarukan, saya pikir tidak perlu melihat berita penyu mati di Riau karena uji coba PLTU.Atau melihat protes nelayan sekitar PLTU Celukan Bawang hingga saat ini. Atau juga kita merawat pembangkit listik tenaga matahari di beberapa titik di bali yang terbengkalai.

Energi terbarukan masih banyak dilihat sebagai teknologi yang mahal dan terlalu maju. Padahal dibanyak daerah pedalaman seperti di Waerebo atau bahkan di Anapura, Nepal. Penduduknya menggunakan tenaga air atau  mikro hidro untuk mencukupi energinya. Masyarakat di sana mengadopsi upaya mandiri untuk menghasilkan energinya sendiri, tanpa bantuan pln,atau pemerintah. Perawatannya dengan swadaya masyarakt. Mulai dari pemasangan, kemudian perbaikan, dan warga iuran untuk operasionalnya. Harga dan operasionalnya bahkan sangat kecil dibandingkan dengan pembangkit yang besar. Jejak karbonnya kecil sekali, jika berbanding PLTA yang musti mendatangkan batu bara di Kalimantan. Atau tenaga sampah sekalipun dengan pembakaran. Ditambah emisi yang dihasilkan berbahaya bagi manusia.

Indonesia belum semaju Swedia, atau negara Eropa soal pengurangan emisi. Negeri ini malah pengurangan emisinya tidak berjalan. Melihat fakta tersebut, apakah tidak buat kita berpikir untuk beralih pada energi terbarukan? Atau wacana biodisel dari sawit saya pikir tidak menjawab tantangan perubahan iklim dunia.

Fokus pengembagan keilmuan dan industri Indonesia haruslah pada upaya pengurangan emisi, dan keberlanjutan. Energi alternatif kita jauh lebih melimpah dari negara utara. Asalkan ada keinginan untuk memanfaatkannya pasti ada jalan. Walaupun alatnya sederhana, atau prisip beli, tiru, modifikasi tidak memalukan. Komitmen kita soal perubahan gaya hidup ke area tersebut patut dilakukan.

Contoh-contohnya cukup banyak, misalnya koperasi Amogasiddhi di Kesiman yang pakai tenaga surya, atau Bale Bengong markasnya pakai tenaga surya, atau Puku Camper yang mobil tendanya coba untuk mengambil energi dari matahari, atau banyak produk dengan tenaga listrik yang jauh lebih hemat dari kendaraan pakai energi fosil.

Saya pun ingin untuk pindah, walau masih dalam angan untuk punya sepeda listrik atau motor listik, rumah pakai energi surya, atau angin, dan bisa bangun sepeda energi kenetik. Saya janji untuk mencobanya nanti, sembari berusaha, kita bisa mencari informasinya dulu, berbagi, dan menyuarakannya dahulu kan?

Ekamul

Habis nonton sepeda kenetik buatan jerman.

Hidup Damai Mungkin Tak Terlalu Jauh, Adanya di Desa

January 12, 2020 § Leave a comment

Laptop rada berembun karena hujan mengguyur sejak tadi. Awal hujannya dari saya masih di pantai. Anginnya jelas tidak santai, awannya bergelayut dan berarak perlahan. Denpasar jadi adem dibanding tadi siang. Sambil menunggu hujan reda, berteduh, dan setel yutub.

 

Ada yang menarik di halaman awalnya, sebuah video dari kenalan saya di desa les, buleleng. Nama akunnya Cerita dari Desa, sedang menampilkan Chef Yudi, pemilik warung Sunset yang terkenal dengan pork ribsnya memasak nasi mengguh bebek. Dalam video berdurasi sekitar 20 menit itu, iya tengah duduk-duduk di depan talenan dan penggorengan. Ia dengan cekatan memotong bawang, menerangkan tips memasak bebek, dan mulai meracik masakan tersebut. Kemudian ia ambil bebek yang telah dipotong dimasukkan dalam wajan, menambahkan daun salam,bumbu,air dan terakhi nasi. Sungguh menggoda selera saya yang jauh di denpasar.saya lantas buat postingan di facebook untuk dibagikan pada khalayak lainnya. Ada beberapa video lainnya yang juga sangat menarik dari aku tersebut. Semuanya mengenai hal yang biasa dan keistimewaan hidup di desanya.

Gambaran ini mungkin saja terjadi terhadap video yang menarik lainnya. Namun bagi saya ada perasaan yang membuncah ketika bisa menonton dan membagikannya pada kawan-kawan lainnya. Saya terus mengikuti video terbarunya.saya pikir konten yang dibuat chef jero yudi dan timnya sangatlah berarti bagi saya yang tidak begitu banyak punya “previllage”. Maksudnya pengalaman-pengalaman yang mengesankan hidup di desa.

Saya sebagian orang kota, lahirnya saja di desa, tapi hidup hampir seluruhnya di kota. Tk, sd, smp,sma, kuliah seluruhnya di nusa dua, kuta, dan denpasar. Kerja dan bergaul juga di denpasar. Sedikit sekali punya teman di kampung sendiri. Kadang agak susah menyatu dengan kawan sebaya. Dengan kata lain pengalamannya juga berbeda kan.

Misalnya lihat postingan di twitter foto manjus di tukad, atau mancing lidung. Ada saja kemudian yang menanggapiya seperti saya, perasaannya ingin berada dalam perasaan yang sama.

Pernah sekali datang di festival sawah di tabanan, garapan bli Made Adnyana Ole dan masyarakat desanya. Ada banyak hal yang nempel dalam ingatan saya. Mereka main di sawah, ada lomba ngejuk bebek, ada yang melajah manyi, main layangan. Ada perasaan yang sama pada benak saya.

Atau jangan-jangan kehidupan perkotaan malah menjadi jenuh dengan kegiatan yang hampir sama setiap saat. Beberapa teman juga bilang jaen idup di desa. Kebutuhan di kota macam-macam, ada banyak jajanan, ada banyak hiburan, tapi kok ada perasaan yang tidak puas. Ada keiginan untuk sesuatu yang liyan, berbeda, dan memberi kesegaran pada hidup.

Di desa tidak pernah saya temukan kesusahan hidup yang ditangisi berhari-hari. Mereka punya penyaluran yang kreatif terhadap kekurangan. Lebih senang berkorban padahal tidak punya. Memberikan kegembiraan-kegembiraan ditengah kondisi yang tak memungkinkan. Orang desa ada pada tingkat keseimbangan yang sebenarnya. Walau kemudian larinya ke klenik kadang. Orang desa malah mampu menanggapi keadaan secara bijak. Kalau ilmunya namanya pasrah atau berserah. Konon menurut ajaran jawa kuno disebut sumarah.

Sumarah dalam pikiran saya malah mirip dengan moksa dalam hindu bali. Persamaannya adalah perasaan damai, tidak terikat pada kesedihan dan kesenangan, perasaan yang seimbang. Istila indonesianya mungkin bisa pakai padanan “merdesa” bukan merdeka. Walaupun saling terkait. Merdeka artinnya bebas. Sedang merdesa perasaan yang tercukupi, damai, sentausa.

Mungkin apa yang digambarkan dalam video chef yudi, melalui ekspresinya yang tenang, damai, atau perasaan kawan yang posting gambar pemandangan rumah di desa dengan tulisan jaen idup di desa, atau para masyarakat desa yang mengenalkan ragam budayanya melalui festival. Atau seperti saya lihat video masak-masak barusan bisa jadi macam pencarian yang sebenarnya dalam kehidupan. Hiruk pikuk tidak selamanya harus diarungi, hidup juga perlu bagian-bagian yang tenang, balik ke desa,melakukan hal yang mendasar. Sepertinya tujuan itu demikian.

 

#denpasar hujan

Masa Depan di Bali seperti Apa?

July 7, 2017 § Leave a comment

img20161127212150

Para Muda, senang berkelakar, bermain, dan seolah tidak peduli hari depan. Tapi juga gelisah keberlanjutan budayanya.

Sedang gamang memikirkan bali di masa mendatang. Kemarin ketika kundangan ke tempat saudara se- banjar menikah di banjar sebelah, seorang kawan berseloroh  mengenai aplikasi online untuk memilih Pedanda untuk “muput” upacara. Anggota masyarakat tidak lagi “mendak” Ida Pedanda ke Griya. Hanya tinggal mengunduh aplikasinya lewat google Playstore atau appstore, dan masuk ke lamannya, memilih pedanda berdasarkan lokasi griya, dan mengisi form informasi seperti tanggal upacara, lokasi, dan upacaranya. Untuk segala perlengkapan upacaranya sudah bisa dipesan secara daring lewat aplikasi di telepon genggam. Kami tertawa terbahak-bahak.

Hari ini saya jadi berpikir ulang, apakah hidup di masa depan akan seperti itu? Hidup secara praktis tidak selalu baik, mungkin. Bibi dan ibu saya hari ini tampak sibuk mengerjakan perlengkapan upacara, mereka bekerja sejak pagi ketika matahari baru muncul. Perlengkapan upacara punya makna sendiri, tiap bagiannya, elemen peyusunnya punya fungsi-fungsi khusus. Tata cara, urutan, susunan, dan sikap pembuatannya dituntut untuk benar. Ada banten khusus yang dihaturkan ketika membuatnya.

wp-image-481503704jpg.jpg

lalu siapa yang akan melanjutkan kerja-kerja ini di masa depan?

Kemarin, ada yang membuat saya terkesima ketika seorang kawan dari Jong Santiasa Putra menyambangi warungnya sore kemarin. Saya tengah menyelesaikan gambar detail konstruksi untuk pembangunan bale banjar yang telah saya unggah di blog  ini. Surya, lulusan SMA 1 denpasar dan tengah menyelesaikan studi manajemen di Universitas Udayana menceritakan apa yang ia kerjakan setahun lalu. Kawan-kawan tentu pernah mendengar “Jaen Idup di Bali”. Mungkin ketika itu banyak membuat polemik soal tingkat nyaman hidup di pulau kecil ini. Aktivis seperti JRX, dan penggiat media sosial lain banyak mempertanyakan statement tersebut.

Surya dan kakaknya (yang memiliki brand untuk baju tersebut) punya latar belakang yang berbeda dengan pandangan umum tersebut. Mereka tinggal di pusat pariwisata Ubud, sekitaran Padang Tegal. Sebenarnya jauh lebih gelisah akan masa depan ubud. Perubahan yang cepat

Di masa depan, ketika kita tidak membuatnya sendiri. apakah sikap-sikap hidup juga akan terus bertahan? Lalu belum jelas kita harus memilih yang mana?

Tenang, Macet itu Hanya Indikator Awal..

November 9, 2016 § 1 Comment

Menulis dengan tenggat yang minim mungkin bisa jadi latihan yang sepadan untuk mengasah kemampuan sebagai wartawan. Tiap hari harus menyetorkan beberapa tulisan yang sedari pagi masuk catatan editor. Penugasan dan sudut pandang beritanya ditentukan agar lebih menarik masuk koran. Pagi hingga siang liputan, sore hari tulisan harus masuk dapur redaksi. Malam editing serta konfirmasi data, dan terakhir tugas para penata letak yang akan menyesuaikan berita yang masuk ke dalam halaman koran.

Namun saya, yang punya niat setengah-setengah jadi pewarta dan setengahnya jadi arsitek, atau harus dibagi menjadi sepertiganya untuk seorang yang  biasa-biasa saja. Agaknya begitu rumit. Maka, jika ada kekurangan yang luar biasa terhadap tulisan ini. Ya saya minta maaf. Namun berdasarkan pada rapat via line yang begitu singkat, saya menulis secara rutin tiap selasa (dan minggu ini masuk minggu ketujuh) di blog milik saya mengenai Bali. Walau hanya sampai minggu kedelapan (tepatnya hanya sampai minggu depan), menulis mengenai pulau kecil ini harus berlanjut. Walaupun kadang topiknya terasa bergejolak, ada yang serius ada yang tidak minimal menjadi catatan tersendiri untuk para penulisnya. Suksma!

Bermacet-Macet Ria

Bagi warga Denpasar dan Badung, dan kota-kota penyangga lainya seperti gianyar dan tabanan, seolah harus berjuang hingga ke rumah tiap sore hari. Jalanan penuh asap kendaraan, klakson-klakson begitu nyaring di telinga merupakan santapan sehari-hari para masyarakat sekitaran kota. Konsentrasi pekerja yang tinggi di perkotaan, seperti Denpasar dan Badung selatan telah menyebabkan jalan-jalanan kita yang super mini jadi sesak dan juga makin tidak terkendali. Sore in mungkin salah satu sore yang pasti begitu naas bagi saya.

img20161108184712-01-01

Sekitar satu jam berhenti dan menonton kemacetan sore ini, di sekitaran Daerah Kwanji, Dalung.

Niat menghindari sengketa macet di sekitaran Canggu-Kerobokan, via Kwanji, Dalung harus menemui kenyataan bertemu hal yang serupa. Padahal sebelumnya disekitaran Gunung Agung-Mahendradatta juga tidak jauh berbeda. Bahkan pengendara motor-lainnya yang sempat saya ajak ngobrol ketika menunggu macet. Kondisi di beberapa ruas jalan lain seperti Sempidi-kapal dan sekitarnya juga macet tiap sore. Hujan besar tadi sore (08 November 2016) sekitaran Denpasar Barat, hingga Badung turut menjadi faktor bagi pengendara pulang pada saat yang bersamaan. « Read the rest of this entry »

Grundelan 1: Di antara Realitas Sehari-hari dan Kondisi Aktuil

September 28, 2016 § Leave a comment

Saya punya ketertarikan khusus akan politik, mungkin salah masuk jurusan ketika berkuliah. Terlebih lagi sejak sekolah dulu hobi berdebat dengan teman sekelas terutama pelajaran-pelajaran sosial dan PPKN. Apalagi kemudian berhubungan dengan peristiwa-peristiwa yang lampau soal-soal sejarah dan juga peristiwa-peristiwa mutakhir terkini.

636105255536295163-gty-610601290

Trump dan Hillary Clinton, debat Capres Amerika Serikat tadi pagi. (Sumber)

Pagi hari sudah disuguhkan debat Hillary Clinton dan Donald Trump. Ini masuk peristiwa sejarah berhubungan erat dengan politik. Sejak kemarin ketika ngobrol dengan mbok jurnalis cum fotografer, entah dia sedang concern sekali dengan politik Amerika, sampai lupa debatnya jam sembilan, malah dibilang pukul tujuh. Mungkin ada gangguan dari keseleo tangannya setelah tabrakan kemarin. Untung sudah ke tukang urut kenalannya Mbok-mbok wartawati senior (terima kasih banyak mbok). Semoga segera mengetik kembali, lumayan tangan kiri buat ngetik huruf A dan shift buat kapital saat buat berita.

Berhubung saya belum bercerita tentang Project #MerekamBali, karena tulisan yang dipublikasikan tadi pagi sekadar pembuka, ada baiknya saya ceritakan apa yang saya lakukan hari ini. Jika dirunut pada satu topik mengenai Bali, setidaknya dari sore saya berpikir untuk menulis beberapa hal. Pertama soal pemilukada Bali dengan bayang-bayang para Cukong (ini hasil diskusi berat bareng mbok-mbok galau yang bosen dengar politik dan Bli Jung, owner clothing ternama hobinya analisis politik dan perdagangan) dan topik satunya soal mebraya (bersaudara). « Read the rest of this entry »

Kerja, Kartini dan Akhir Pekan ini

April 18, 2015 § Leave a comment

Bacaan Berat di Akhir Minggu (sumber)

Ada banyak hal yang harus ditunda, itu tentu saja bukan pembenaran. Karena semuanya punya alasan. Tentu saja bukan sebuah ketidakmampuan, namun hanya perkara waktu saja.

Ini boleh dicibir dengan pelbagai hinaan. Bagaimanapun hal tersebut merupakan sebuah kekurangan dalam diri saya. Saya tidak akan menyangkal hal tersebut. karena itu saya dengan segala keterbatasannya.

Itu jawaban dan juga peryataan yang sering terpikir. Karena hutang harus dibayar. Janji tidak akan lunas ketika pelunasannya tidak berjalan. Bahasanya kredit macet. Atau janji yang macet. Dua hari ini berkeinginan untuk hilang dari adab rumah intaran sejenak. Rumah adalah tempat yang tepat untuk menghilang dari rutinitas  kerja. walaupun sebenarnya tidak  dapat dikatakan sebagai kerja, namun disana menjadi satu dengan aktivitas keseharian. Jauh dari macet serta polusi. Sangat jauh dari rutinitas saya ketik masih berkeliling sekitaran Badung dan Denpasar, namun seringkali teringat untuk mencicipi yang katanya merupakan peradaban kota. Beserta segala tingkah polahnya. « Read the rest of this entry »

Dari Kunjungan Rumah Intaran ke Sekolah

March 8, 2015 § Leave a comment

Fida dan Haps sedang Sosialisasi ke Murid-murid SD di Singaraja (Dokumentasi Rumah Intaran)

Fida dan Haps sedang Sosialisasi ke Murid-murid SD di Singaraja (Dokumentasi Rumah Intaran)

Haps dan Fida telah menceritakan persfektif yang mereka temukan saat berada di depan kelas, saat sabtu kemarin memberikan Penjelasan mengenai manfaat Pohon Intaran dan pesan-pesan menjaga lingkungan. Walaupun tidak terlalu aktif memberikan penjelasan mengenai topik tersebut, saya ingin banyak membagikan pandangan saya mengenai efektivitas pemberian diskusi tersebut. Sasaran utamanya adalah siswa sekolah dasar dan menegah. Mereka akan sangat potensial dalam upaya kita memberikan pelajaran-pelajaran mengenai lingkungan mereka.

Anak-anak sekolah saat ini sangat jauh dari sekitarnya. Dimana begitu banyak orang tua bangga saat anaknya begitu lekat akan teknologi (dan menganggap teknologi sebagai acuan masa depan). Yang dilupakan, anak-anak harusnya menikmati permainan mereka di alam bebas. Jari-jari mereka harusnya merasakan beceknya halaman ketika hujan, atau bermain dengan bahan-bahan alami. « Read the rest of this entry »

Gejala Bahasa Itu Bernama Vickiisme

September 13, 2013 § 1 Comment

Image

Lagi ngetrend bahasa campur- campur intelek yang diperagakan oleh Vicky Prasetyo. Alih- alih untuk membuatnya kelihatan intelek, ia rela bergumul dengan perangkat aplikasi penerjemah google translate untuk mengubaha bahasanya yang Indonesia menjadi inggris, celakanya tidak semuanya dapat diterjemahkan dengan baik, pemilihan diksi yang tidak pas, dan banyak kata yang tak jelas. Namun ada satu yang patut diapresiasi adalah keberaniaannya untuk berbicara didepan publik (walaupun salah). Bahkan yang terbaru ketika bertunangan dengan saskia (penyanyi dangdut) ia mengeluarkan jurus kata inteleknya di depan wartawan infotaiment. Salah satunya yang begitu lekat di diingatan saya adalah “konspirasi kemakmuran”.

Gejala ini mungkin lagi kenceng, sampai teman- teman dikantor malah sibuk untuk mencari video berikut mengenai artis dadakan ini. Sebagai anak magang ya saya ikutan nimbrung sekaiigus tertawa. Bahasanya sulit, bahkan sangat jarang untuk mahasiswa seperti saya. Konspirasi, dan kata- kata sulit lainnya sangat sulit untuk menghubungkannya dalam kehidupan mahasiswa atau dimasyarakat.

Ada sebuah gejala baru dimasyarakat, narsis. Narsis mungkin tidak tepat, namun gejalanya adalah keinginan untuk terlihat menonjol dimata orang lain (bukan bagian tubuh tapi mengenai sikap). Melalui bahasa seseorang ingin menunjukan diri pada masyarakat luas, bahwa dirinya sangat pintar. Dengan kata- kata yang tidak lazim di masyarakat orang macam ini mampu untuk menipu banyak orang.

Saya sangat sering mendenar beberapa kawan ketika berdiskusi menggunakan kata- kata yang tak lazim, dulu saya beranggapan bahwa penggunaan bahasa tersebut wajar, bahkan mampu meningkatkan sebuah citra. Namun ternyata semakin pandai seseorang dapat dilihat dari penggunaan bahasa yang lugas, jujur, dan mudah diterima oleh masyarakat. Radhar Panca Dahana (budayawan), selalu berusaha memilih kata yang mudah dimengerti, tidak njilemet (kata Bung Karno) dan tegas.

Tadi pagi juga sempat membaca tulisan Goenawan Mohamad melalui media sosial, ada beberapa hal yang dikemukakannya mengenai “Vickiisme dari Masa Ke Masa” . Terdapat beberapa poin penting dalam tulisannya tersebut, diantaranya pertama hal ini telah ada dari dahulu, dan bahkan seorang jendral seperti ketika Ali Moertopo bahkan bertemu dengan budayawan seluruh Indonesia. Sebuah kata yang menjadi pertanyaan ketika itu Aquakultur, padahal untuk mengistilahkan kebudayaan maritim. Pemilihan kata (diksi)tidak sesuai pada tempatnya. Goenawan Mohamad juga menyebutnya sebagai gejala kecemasan, cemas akan penulis atau pembicara tersebut tong dengan bunyi yang rumit.

Kemarin sempat terpikirkan untuk mencoba memperbaiki pemilihan kata yang dipakai oleh Vicky, eh ternyata keduluan oleh Mas Anton Dwisunu melalui foto diatas. Tapi masyarakat nampaknya sadar sekali dan berusaha untuk menggunakan bahasa dengann baik. Selama seminggu dunia hiburan akan riuh dengan tawa. Bahasa itu adalah bagian dari budaya kita, dan gejala pada bahasa merupakan salah satu hal yang wajar.

Bale Design, 130913

 

Where Am I?

You are currently browsing the sosial category at Sudut jalan.